Follow Me @fergiana.s

Saturday, December 1, 2018

Sidang

December 01, 2018 1 Comments


Tanggal 23 November yang lalu adalah hari yang bisa melekat cukup lama di benakku. Setelah 6 bulan pengerjaan laporan Kerja Praktek kuliah selesai, akhirnya hari itu aku dan kawan-kawan lain dapat mengikuti sidang. Yah kalau dengar kata orang-orang sih gampang, kayak presentasi biasa gitu aja. Yang bikin deg-degan itu ya sesi pertanyaan oleh penguji. Maklumlah, akunya gak suka ditanya-tanya, cewek gak suka ditanya kata M*lea (HAHA, baru habis baca buku Dilan beberapa waktu yang lalu).

Ekhem, jadi alasan sebenarnya adalah aku takut revisi. Revisi sebenarnya wajar, banyak atau tidaknya itu yang membuat asam lambungku naik dan tidak bisa nyenyak di malam hari. Hari itu aku diboncengi Kaka menuju tempat print terlebih dahulu. Jam 7 lewat 45 menit kami keliling mencari tempat fotocopy, aku kurang satu lembar berkas untuk sidang. Mirisnya itu adalah berkas untuk revisi yang nantinya diisi dosen penguji. Cukup lama kami menunggu, soalnya ramai sekali dan untungnya seusai itu kami tidak telat, malah sempat duduk-duduk sebentar di bawah. Ternyata bulan ini cukup ramai yang mengikuti sidang, ada yang sidang KP ada pula skripsi.

Jam 8 lewat 15 menit para mahasiswa sudah berbondong-bondong menuju lantai 4. Aku malas berdesakan, jadinya masih santai duduk menunggu keramaian berakhir. Begitu sudah mulai sepi, aku, Kaka dan Lindy menaiki anak tangga dengan tabah. Kakak senior di depanku mengeluh, “bergetar lututku ni lah”, ketika kami sudah hampir sampai di lantai 4, aku takut nafasku tidak cukup makanya aku menahan tawa.

Sesampainya di ruang pembukaan kami langsung menghambur di area yang dekat dengan AC, mirisnya tidak ada satupun AC yang hidup. Hanya pajangan belaka. Untungnya seorang kakak senior dapat membukanya menggunakan HP. Oh aku semakin suka dengan teknologi zaman now. Kami tidak menunggu lama karena beberapa menit kemudian dosen sudah resmi membuka sidang dan jadwal dapat dilihat di lantai 2.

“Lucu sih kalau yang kena lantai 3, udah ke lantai 2 nengok jadwal naik lagi dia.”

Aku hanya mengerutkan kening, aku tidak bisa naik turun, bisa-bisa paru-paru berharga ini kering. Maka ketika semua sedang berburu melihat jadwal aku duduk diam dan mencari seribu alasan supaya Kaka dan Lindy tetap bersama ku.

“Nanti aja lihatnya, itu rame banget, badan kita kecil gak bakal kebagian.”

Sebenarnya alasan itu tidak aku karang, selain malas berdesakan, kami pasti tidak kebagian. Beruntungnya teman kami yang ikut berburu mengirimkan foto jadwal, aku, Kaka dan Lindy sidang di jam 11 bersamaan. Aku di ruang 302 dan keduanya aku tidak ingat, yang pasti ruangku dan Kaka bersebrangan.

Karena masih dilanda panas dan capek kami bertiga nongkrong di lantai 4 yang sudah sepi, hanya dipenuhi kursi-kursi kosong. Lantai 4 memang jarang dinaiki orang-orang jadi maklum rada horror meski siang bolong. Saat aku sedang memperbaiki powerpoint presentasi, beberapa kali pintu samping terbuka dan terutup sendiri (pintunya ada 2, pintu masuk dari depan dan samping). Kami tidak menghiraukannya, toh barangkali cuma angin.

Setelah selesai menyunting aku langsung memasukkan laptop aku dan meneguk air. Saat itulah aku melihat sebuah baju putih yang memang diwajibkan semua mahasiswa kenakan saat sidang maupun ujian. Aku melihat perutnya yang agak buncit, aku tidak nampak wajahnya karena memang hanya setengah badan, dan jelas sekali. Soalnya desain kampus ini menggunakan kaca semua dan kiri kanan dapat dilihat tembus. Kukira ada mahasiswa lain yang baru akan turun, tetapi dipikir-pikir aku tidak melihat wajah atau kepala (warna rambut kan hitam kontras), hanya putih-putih. Dan begitu aku melihat kea rah pintu samping sekali lagi, tidak ada siapa pun hanya pintu samping yang tertutup rapat.

Aku bergidik ngeri dan mengemas barang segera. Mengajak kawan-kawan turun, sungguh Lindy sudah semangat sedangkan Kaka masih duduk dan malas gerak. Ingin sekali aku menarik lehernya dan turun bersama ku. Setelah aku desak akhirnya kami turun juga dan berencana untuk melihat anak-anak lain yang sidang, kami menonton Herwin yang diuji oleh pak Jajang.

Aku cukup panik karena pak Jajang cukup horror, banyak sekali yang dikomentari dan alhasil Herwin mendapat banyak revisi. Kaka juga mulai keringat dingin, karena jadwalnya berada di ruang itu (307 kalau tidak salah), berasumsi bahwa pak Jajang adalah penguji. Kami mulai komat kamit laporan kami sendiri, bolak-balik membaca siapa tau dengan begitu nasib kami tidak seburuk Herwin.

Aku sempat melirik kelas seberang, aku tau dosen di seberang baik dan kemungkinan besar dia adalah pengujiku, maka aku sedikit lega mengetahui hal tersebut. Herwin belum selesai sidang aku sudah siap-siap menuju kelas seberang yang kini kosong, aku harus setting lokasi sidang sendiri. Dengan sigap mencoba proyektor dan menaruh berkas di samping. Dosen yang baik tidak kunjung tiba, aku mulai bosan dan berjalan ke kelas Lindy yang keadaannya sama denganku, kami berbincang sebentar kemudian aku menuju toilet dan kelas sendiri

Aku duduk dan mencoba baca-baca slide, tidak lama kemudian pintu terbuka. Jantungku yang memompa darah optimal tiba-tiba drop drastis.

“Habislah”, pikirku saat itu.

Guru yang masuk kategori killer dan lumayan ditakuti anak-anak. Bu Liza. Aku hanya bisa tersenyum dan keringat dingin mulai menetes, untungnya aku masih bisa presentasi dengan baik dan sedikit terburu-buru karena diberi waktu 10-15 menit untuk presentasi. Bu Liza tidak memperhatikan aku yang sedang berbicara, sibuk membolak-balik laporan. Maka aku langsung membacakan inti dan menjalankan demo program yang sudah kubuat.

Bu Liza bertanya banyak, mengenai input dalam program, sebenarnya menurut aku sendiri sudah ada tapi baginya itu hanyalah button belaka (setelah aku teliti, struktur program aku memang tidak sesuai dengan program yang aku buat hehe). Alhasil aku banyak revisi, dari laporan sampai program, rasa-rasanya suasana hati memburuk.

Berbeda dengan Kaka yang langkahnya melayang-layang dan melihat kearahku mengisyaratkan semangat. Aku hanya bisa tersenyum miris di balik kaca. Aku diberi waktu seminggu untuk revisi, tetapi anehnya di laporan tertulis tanggal 29 (berarti terhitung 6 hari saja), lebih luar biasa aneh lagi di kertas revisi tertulis tanggal 28.

Aku resmi maag siang itu.


Jadi kawan-kawan yang membaca, sidang pertama aku dapat dikatakan berjalan mulus ya, tidak ada kecelakaan seperti proyektor meledak atau serangan penguin-penguin, cuaca malah cerah sekali hanya saja hasilnya kurang menyenangkan. Puji Tuhan aku menyelesaikan revisi itu di tanggal 28 dan sudah di ACC oleh penguji. Turut berterima kasih kepada master (teman yang membantu pemrograman aku), Kaka, Lindy dan lainnya yang sudah membantu aku dalam pengerjaan Kerja Praktek ini.




Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~

(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)

Saturday, November 10, 2018

Cerpen - Thanks to you, Paw!

November 10, 2018 1 Comments


Siang itu kampus sudah ramai dengan mahasiswa, aku sedang duduk di taman bersama teman-teman sekelas, mengerjakan tugas kelompok. Tidak sulit, bahkan kami sebenarnya sudah menyelesaikannya, tinggal presentasi lusa nanti. Aku sedang sibuk membalik-balikkan lembaran kertas novel, sesekali berhenti untuk mengikut percakapan teman-teman yang sedang berlangsung. Di sela-sela kesibukanku, aku mendengar tapak-tapak kaki yang ramai melewati kami. Itu adalah Oliver, senior yang populer di kampus kami. Yah, wajahnya bagus sih, ganteng. Tapi bukan itu saja yang membuatnya populer, dia pintar, ramah dan rajin. Bisa dikatakan populer dua sisi, sisi mahasiswa dan sisi dosen.
Oliv sedang mengajak anjing-anjingnya jalan santai. Kami sudah terbiasa melihat pemadangan seperti ini, ‘Oliv dengan kawanannya’ membuka eskul relaksasi bersama anjing-anjing lucu. Apakah aku menyebut anjing-anjing? Iya, kawanan Oliv ada puluhan. Jalan-jalan hari ini Oliv bersama Rupus dan Remus, si kembar yang merupakan sahabatnya. Biasanya ada 5-6 anggota yang ikut jalan santai, tumben-tumbenan sepi.
“Kak Oliv!” bisik Poppy kepada kami semua.
“Ikutan yuk, gak terlalu ramai kawanannya hari ini hehe” katanya lagi.
Serentak teman-temanku meninggalkan aku sendiri, mereka memang penggemar Oliv dan tak segan menunjukkannya. Aku hanya menggeleng kepala dan kembali fokus ke buku yang aku pegang. Sebenarnya aku ingin sekali ikut kawanan itu, tapi aku malas, harus basa-basi dengan orang yang tidak aku kenal dekat. Aku suka sekali dengan anjing-anjing. Ingin sekali aku memiliki satu saja! Tapi mama tidak memperbolehkan… Alhasil aku hanya bisa memelihara di handphone, sudah cukup senang dengan begitu.
Saat aku mencoba fokus kembali, tiba-tiba ada sesuatu menarik celana jeans ku. Aku melirik kebawah dan mendapati sebuntal bulu coklat raksasa sedang menggigit ujung celanaku! Aku tau jenis ini! Chow Chow! Ah jenis anjing besar yang merupakan favorit ku. Aku langsung memasukkan buku kedalam tas dan mengelus gemas kepalanya.
“Hei kawan, apa kau terpisah dengan kawananmu?” kataku sambil memijit-mijit pelan telinganya yang super halus.
“Aneh, seharusnya dengan ukuran sepertimu tidak akan lepas dari pandangan mereka.”
“Ah, aku harus mengembalikanmu ke mereka.”
Aku hendak menuntunnya jalan, tapi buntalan bulu itu malah baring telentang, mengajakku main. Gemasnya... Dengan tidak sabar aku langsung menyerang dengan gelitikan pelan. Dia membalasku dengan gigitan kecil di tangan, dan aku langsung mengelus kepalanya.
“Kamu suka main juga ya Paw.”
Aku memutuskan untuk memanggilnya Paw, kenapa? Tangan-tangannya lembut sekali! Berwarna pink, kenyal, tanpa kusadari aku menekan-nekan tangannya terus. Aku melepas tangannya dan mengelus kepalanya sekali lagi.
“Nah Paw, sudah selesai main-mainnya. Mari kembali ke asalmu.”
Aku memakai ranselku kemudian menuntun Paw menuju lapangan belakang, biasanya klub relaksasi selalu di sana saat jalan santai. Untuk menuju lapangan belakang, kami harus menelusuri lorong-lorong koridor dan jaraknya cukup jauh. Sejauh ini Paw menurut, tapi langkahnya terhenti ketika kami berada di lorong yang memiliki gang sempit. Di gang sempit itu ada suatu benda putih, tidak jelas apa itu, pastinya Paw langsung berlari ke sana dan menggigit benda putih itu.
“Hei! Jangan makan itu!” pekikku kaget. Paw sepertinya terkejut dan tidak mau mendekati ku setelah aku memekikknya. Aku tidak sengaja! Refleks berteriak, aku takut Paw sakit memakan benda-benda aneh.
“Sayang, ayo kemari. Mana mulutmu, ayo keluarkan,” aku mencoba untuk membuka mulut Paw, sayangnya tidak bergeming. Paw malah berlari, menjauhi ku. Anehnya tubuh yang besar itu lincah sekali. Aku mengejarnya dengan susah payah, di tengah lorong aku bertemu dengan dosen,
“Tugas kalian sudah dikumpul?”
“Sudah kami e-mail kan pak”
“Oke nanti saya cek, jangan berlarian ya kamu,” katanya kemudian meninggalkan aku yang mengangguk pelan.
Celaka! Aku kehilangan jejak Paw! Aku mondar-mandir di sekitar lorong, barangkali Paw masuk ke salah satu kelas, yep, di lorong besar ini ada puluhan bahkan hampir mencapai ratusan kelas! Terkutuklah diriku karena sudah memaki Paw tadi, sekarang dia takut padaku dan entah di mana dirinya, mungkin perutnya mulai sakit karena benda putih sialan itu (aku asumsi itu tisu! Entah siapa yang membuang sembarangan).
Aku berlari-lari kecil dengan kepala mendongak ke arah kelas, dan aku menubruk seseorang.
“Aduh!”
“Maaf! Maaf maaf, aku sedang mencari sesuatu,” aku mendongak dan mendapati Oliv sedang memegang dagunya.
“Ah iya tidak apa, kepalamu tidak apa?” aku membalasnya dengan gelengan. Oliv tersenyum dan pamit pergi. Aku juga mengucap selamat tinggal, tapi kemudian aku ingat, kemungkinan ia sedang mencari Paw! Kutarik lengannya dan sekali lagi dagunya terpentok kepalaku.
“Kakak cari Paw ya?”
“Hah? Paw?” katanya sambil meringis.
“Chow chow, anjing coklat yang besar itu.”
“Iya, kamu nampak dia?”
“Tadi dia bersamaku! Main bareng, lari-lari, makan tisu dan dosen menyapaku, aku mencari- …”
“Makan tisu?”
Ah bodoh sekali aku. Dengan cepat aku memberi tahu rinciannya, Oliv mengangguk-ngangguk dan ber-oh menanggapi ceritaku.
“Terakhir kali dia di lorong ini. Mungkin dia masuk salah satu kelas.”
“Baiklah, makasih. Aku akan mencarinya.”
“Akan aku bantu!” Kataku kemudian berjalan mendahuluinya.
Oliv berjalan di belakangku, kami mencari kelas demi kelas di lorong ini sampai sore hari. Tidak ada Paw ataupun kucing sekalipun. Aku duduk di bangku panjang sambil mengadahkan kepala ke langit-langit. Capek sekali.
“Hei, istirahat saja dulu…” Kata Oliv kemudian duduk di sampingku.
“Aku khawatir dengan Paw.”
“Tenang, ini kampus, dia tidak akan hilang.”
Aku tidak membalas perkataannya, sibuk memikirkan perut Paw.
“Apa kamu suka anjing?”
“Banget! Tapi mama tidak kasih aku memelihara mereka.”
“Kenapa?”
“Yah tidak ada tempat untuk memelihara, kami jarang di rumah. Setelah dipikir-pikir kasihan juga kalau aku maksa, makanya aku cuma pelihara di handphone.” Aku langsung mengeluarkan handphone dan menunjukkan ‘peliharaan’ ku. Oliv tertawa kemudian mengelus kepalaku.
“Aku juga main game itu, aku sudah punya 58 jenis anjing, kamu berapa? Favoritku adalah-” aku tidak memperhatikan kata-katanya, masih terpaku dengan ingatan tangannya yang mengelus kepalaku. Untung pagi ini aku berkeramas.
“Paw!” Kataku tiba-tiba. Oliver tersenyum kecil.
“Sudah ditemukan.”
“Hah?”
“Setengah jam lalu saat kita mulai mencari bersama, Remus meneleponku, katanya Paw menghampiri mereka sambil menggigit tisu-tisu bekas.”
“Kenapa?”
“Maksud kamu?”
“Kenapa kamu tidak memberitahu!”
“Ah, aku sempat memanggil kamu berkali-kali, kamunya gak nyahut. Yaudah aku temani aja kamu lari-larian.”
“…”
            Aku mengerutkan dahi dan menggigit bibir, kebiasaan kalau aku sedang kesal. Yah seingatku Oliv memang sempat memanggilku, tapi aku terlalu fokus mencari dan mengabaikannya.
            “Baiklah, setidaknya dia tidak makan tisu itu.”
            “Benar.”
            Aku bermaksud untuk duduk lebih lama lagi, tapi Oliver masih belum beranjak. Malah menatapku, membuat aku tidak nyaman. Apa ada sesuatu di wajahku?
            “Aku Oliver,” Katanya mengulurkan tangan.
            Aku menatapnya bingung, dan baru membalas uluran tangannya ketika sadar kami belum ‘resmi’ berkenalan.



Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~

(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)

Saturday, November 3, 2018

A Magic Spell

November 03, 2018 4 Comments


Saat aku dibonceng beberapa waktu yang lalu, temanku bertanya apakah berat badan aku berrtambah. Aku jawab iya, karena memang begitu. Maklum, makan-tidur-repeat. Yang menjadi pokok pembahasan kali ini adalah, bagaimana perasaan orang jika ditanya hal seperti itu? Yah, berat badan kan pertanyaan yang lumayan sensitif untuk perempuan (orang kurus juga sih). Aku pun sebenarnya kurang senang ditanya mengenai hal itu, jikalau berat aku sedang ringan, hanya senang kalau sedang berat (bahkan aku akan menyebar tentang kenaikan berat badan aku ke orang-orang dekat). Di post kali ini aku ingin mengajari kalian sebuah mantra.

Sebelumnya, ada pertanyaan. Sopan tidak sih tanya hal-hal yang sensitif? Sensitif itu seperti apa?

 Kalau menurut aku, hal yang ada kaitannya dengan diri sendiri. Misalkan berat badan, tinggi badan, postur badan, dan lain-lain deh. Memangnya siapa sih yang gak tau sama fisik sendiri? Yakali kamu tidak sadar kalau kamu itu pesek (MISALKAN), terus pada bilang, “Eh ternyata hidung kamu pesek juga ya”, “Kenapa gak nyoba oplas aja?”. Dan setelah orang itu oplas, kalian bakal bilang, “Eh kamu oplas ya? Jadi mancung dih.”

Kan kesal?

Kalau benar mau ngomentarin orang, lihat dulu dan pikir berulang kali. Orang ini mau/tidak kita kasih tau, kalau udah kenal orangnya sensi dan kalian masih juga kalian komentar itu artinya kalian mau menjatuhkan orang. Jadi boleh nih kalau orangnya ga baperan? Nah ini nih yang mau ditegaskan.

Kalau kalian sudah menyakiti hati orang, kalian ngomong satu kata ‘baperan ih’.

Asal kalian tau, baperan itu wajar. Aku punya perasaan, kamu punya perasaan, tapi nalar dipakai juga. Gak enak banget rasanya kalau dikasih tau hal sama berkali-kali, yang memang udah jelas banget gitu.

“Jerawat kamu besar banget!” oke lewatkan, memang besar kok.
“Ih kesal liat jerawat kamu, pengen gua pencet.”
“Aduh fer, gak fokus ngomong sama kamu. Jerawat ituloh.”

Iya nih, aku tau jerawat di muka aku besar banget sampai kamunya gak fokus. Tapi mau gimana lagi? Dari sananya udah gitu, kamu mau bilang berapa kali juga gak langsung sembuh. Jerawat masih bisa ditoleransi, tidak permanen. Nah! Yang bersifat sementara saja kita risih, gimana kalau yang dibilang itu jidat misalnya.

“Itu jidat atau landasan pesawat?”

Kalian pikir itu lelucon? Oh jelas itu bisa membuat beberapa orang di sebelah kalian tertawa. Bagaimana perasaan orang yang kalian jadikan bahan tawaan itu? Mohon dikaji ulang teman-teman. Hal yang pada hakikatnya seperti itu tidak usah kalian ucapkan ke si pemilik. Simpan saja untuk sendiri.

Orang-orang paling tidak suka dikatain mengenai fisik, bisa jadi gak percaya diri. Mental masing-masing berbeda, kalau sebelumnya aku bilang pikir-pikir dulu sebelum ngomong, maka aku akan membenarkan lagi. Lebih baik kalian simpan saja sendiri, lebih damai begitu. Lebih baik kalian komentar yang baik-baik saja, gak rugi kan kalau nyemangatin orang?

“Rambut kamu bagus banget!”
“Tulisan kamu rapi ya, cantik.”

Nah, aku ucapkan selamat! Kamu sudah bisa menyihir. Orang yang baru saja kamu puji sedang berbunga-bunga, dan itu adalah ‘mantra’ yang kamu ucapkan. Aku mengajarkan mantra ini ke kalian dengan harapan sering dipakai loh! Mantra ini manjur dan tidak ada konsekuensinya. Makanya, ayo mulai sihir orang-orang sekitarmu.



Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~

(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)

Saturday, October 27, 2018

Why does Gossip Feels Good

October 27, 2018 1 Comments


“Eh tau gak? Teman aku kemaren baru aja diputusin tau, padahal baru jalan 3 hari!”
“Wah gila! Cowoknya yang tajir itu kan?”

Rasanya senang banget gak sih nge-gosipin orang? Apalagi kalau itu orang yang kita kenal, kata-kata tidak enak membuat hati kita menjadi lebih menggebu-gebu, seru. Selain itu kalau bahasnya dengan orang yang memiliki ‘semangat’ sama, alhasil tidak akan bisa berhenti, bahkan bisa jadi semakin banyak omongan yang tidak benar. Yang penting seru. Saat gosip tentunya kita memilih orang-orang yang dekat, seperti berbagi rahasia.

Rahasia? Uwah, siapa sih yang gak semangat dengar kata itu.

Sebenarnya kenapa sih orang bisa senang saat gosip? Jujur aku juga tidak tau. Yang pastinya saat kita melakukannya kita sadar, apa yang kita lakuin ini salah. Meski salah kenapa tetap dilanjutin? Pernah dengar gak, orang yang gosip bisa membuat jalinan pertemanan semakin dekat. Itu terkadang dapat menjadi sebuah kabut penghalang yang menyadarkan bahwa ini hal yang salah. Sharing keburukan orang terkesan lebih menarik dibandingkan sharing kebaikan orang. Kurang paham? Mari aku beri contoh. Jika ada 2 headline seperti ini:

1. Pembukaan bandara baru di kota A meriah sekali
2. Atlet juara berturut-turut dikabarkan overdosis narkoba

Kalian bakal baca yang mana?Aku sih bisa tebak percakapan yang terjadi seperti ini:
“Eh kota A baru buka bandara baru, keren. Meriah banget”
“Oh ya?”
“Iya”
“…”
“Eh tau gak, atlet yang terkenal itu. Overdosis narkoba loh!”
“Masa sih? Ih aku dulu nge-fans sama dia tau… Lu tau dari mana? Ada link beritanya gak?”
“Ada, nih aku share ya”
“Wagelaseh…”

Percakapan dengan seorang teman biasanya tidak luput dari orang ketiga. Membicarakan kesibukan sendiri biasanya tidak membuat orang itu tertarik. Hal ini sudah pernah aku coba (tanpa aku sadari aku pernah melalukan riset ini).

Nah, apakah pernah kalian merasa tidak nyaman ketika sedang gosip? Pernah. Kenapa? Bukannya gosip itu membawa kesenangan? Tidak juga. Kita ngomongin orang karena 2 hal:
-          Sebagai bahan pembicaraan (biasanya gosip berlangsung lamaaaa banget),
-          Merasa diri sebagai korban dan perlu membicarakannya untuk mendapat respon.

            Kata-kata, “Sebenarnya aku udah gak kesal, tapi pengen aja aku omongin gitu, eh tapi bukan ngomongin yang jelek tentang dia loh!”.

Ada berita mengejutkan. Kalian baru saja gosipin orang, ngomongin jelek tentang orang. Gurl, don’t you lie to me. I know how you feel, deep down you’re still upset. Kalian merasa diperlakukan tidak adil, memberitahu seseorang perspektif kalian dan mendapatkan feedback yang kalian mau membuat kalian merasa senang dan nyaman. Kalau kalian benar-benar udah enggak kesal, kalian tidak akan membicarakannya atau bahkan sudah melupakannya.

Gosip itu tidak baik. Belum lagi dengan hoax-hoax yang dikeluarkan, nama baik seseorang dapat mudah dihancurkan dan tidak mudah untuk mengembalikannya. Gosip itu racun, dalam hal pertemanan terutama. Jika kalian sering menggosipkan teman perhatikan cara dia menjelek-jelekkannya, bisa jadi dia juga sedang melakukan hal yang sama dibelakangmu. Gosip juga buruk bagi diri sendiri, kalian bisa tidak dipercayai lagi dan poin-poin buruknya bertambah jika teman kalian menegur, kalian mengelak,  tidak sadar diri. Ada jenis orang seperti itu? Banyak, apalagi jika dalam satu grup pertemanan ada 2-3 orang seperti itu, istilahnya ada pendukung, wah, bingung harus gimana supaya mereka dapat menerima respon positif dari yang kita maksud.

            Susah sekali untuk orang lain berubah, tapi memangnya tidak susah ketika seseorang menegur kesalahan kita demi kebaikan? Man, mereka harus berpikir semalaman kata-kata yang cocok supaya tidak menyinggung kita. Yang ditegaskan di sini adalah, mohon, tolong, please, onegai berpikir dulu sebelum berbicara dalam menyatakan pendapat. Teman yang baik tidak akan mengajak kalian berada di sisi gelap.

Belajarlah untuk menahan diri ketika ingin menggunjing sesorang, lebih baik menyebarkan kebahagiaan dibandingkan hal negatif. Aku tidak perlu tau kebenaran, yang pasti memaafkan dan rendah hati itu susah sekali. Tapi tidak ada yang instan kan? (kecuali indomie, enak banget hm). Belajar jika kamu tidak paham, belajar jika kamu tidak benar, dan belajar juga ketika kamu sudah paham. Ingat, rendah hati.

Dulunya aku sering sekali gosip, dan aku sadar itu gak bagus banget. Untungnya sekarang sudah berkurang, berkurang bukan berarti tidak loh. Sebab gosip terkadang bisa memotivasi diri kita sendiri, seperti jika A tidak baik disisi ini dan ketika aku sadar aku seperti si A, aku akan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik, memperbaiki diri sendiri. Jadi yah, tergantung masing-masing orang, bagaimana cara kalian menanggapi gosip.

Nah untuk pembaca yang sudah meluangkan waktu baca konten ini, menurut kalian gosip itu bagus tidak?



Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~

(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)

Tuesday, September 25, 2018

Vision

September 25, 2018 2 Comments


Halo, sengaja aku post di luar jadwal karena udah lama banget aku tidak update! Kalian tahu, setelah aku mengalami infeksi telinga untuk waktu yang cukup lama hidupku seperti hilang separuh. Aku baru benar-benar sadar bahwa telinga dan seluruh anggota tubuh yang aku miliki ini penting, maksudku untuk pertama kalinya aku memperhatikan detail tersebut. Biasanya aku bangun pagi dengan sedikit terpaksa, mengantuk, dan kadang malah ketiduran lagi. Hari-hari ini aku terbangun entah tengah malam atau subuh karena merasa ada cairan yang keluar dari telinga dan aku harus bergegas mengelapnya, tidak ada waktu untuk mengantuk, tidak nyenyak sama sekali. Bagaimana dengan makan? Semata hanya untuk mengganjal perut agar tidak lapar, seperti yang sudah kusebutkan, hilang separuh. Meski aku masih bisa menggunakan indera pengecap tapi aku tidak bisa menikmatinya.

Telinga kiriku dinyatakan infeksi. Awalnya sakit, kukira semacam bisul di dalam dan aku mengoleskan salap khusus. Tiga hari kemudian sakitnya hilang, berganti dengan cairan kuning yang keluar. Saat aku baring, aku seperti tenggelam, ya, cairan tersebut memenuhi lubang telinga kiri ku. Dokter menghisap cairan-cairan tersebut dan memberi obat untuk diminum. Efeknya bagus, telingaku kering dan tidak lagi mengeluarkan cairan. Suatu malam ketika obatku tersisa 2 pil, aku merasakan sakit yang teramat. Kukira jika tahan dan memaksa tidur semua dapat berlalu. Tapi aku salah. Jam 2 pagi aku duduk bersandar bantal, memejamkan mata sampai jam setengah tiga aku baru meminum sereal dan obat. Setelah itu barulah aku bisa tidur.

Keesokan harinya dan aku mengunjungi dokter. Dokter menghisap cairan tersebut dan memberiku obat nyeri. Katanya telingaku sudah bagus, obat hanya perlu diminum saat meradang. Sayangnya pil itu benar-benar hanya menahan rasa sakit, telingaku tidak kunjung sembuh, malah cairan yang dikeluarkan semakin banyak. Ketiga kalinya aku mengunjungi dokter dan ia berkata telingaku kembali bengkak. Ia menyedot cairan sebanyak 4-5 kali. Biasanya hanya 1-2 kali, jadi dapat dikatakan memang sudah penuh. Dia memberiku obat-obatan yang dapat mengeringkan cairan tersebut. Katanya jika telingaku penuh dengan cairan lagi aku harus kembali lagi untuk menyedotnya.

            Jujur aku sendiri tidak yakin dengan perawatan ini, aku sudah tiga kali dan menurut dokter penyebab infeksi adalah, keseringan membersihkan telinga yang tentunya bukan. Aku membersihkan telinga seminggu sekali dan itu masuk ke dalam kategori wajar. Mama dan papa juga mulai ragu, sebab obat yang aku konsumsi sama sekali tidak mengurangi rasa perih dan cairan tersebut malah semakin banyak. Maka mereka memutuskan untuk membawa aku ke Johor Bahru, Malaysia.

            Sebelum aku menceritakan proses pengecekan di JB, aku akan memberi tahu keadaaan aku selama infeksi telinga ini terjadi. Kata ‘tidak enak’ tentu tidak cukup. Yang namanya sakit tentunya tidak enak dong? Utamanya yang kurasakan adalah, separuh dari tubuhku seperti mati rasa. Dari segi kesadaran dan ‘penglihatan’ berkurang 65% (karena rasa-rasanya lebih dari setengah).

Biasanya manusia bereaksi terhadap suara-suara bukan? Sayangnya dengan satu telinga saja aku kehilangan insting tersebut. Aku seperti kehilangan ‘penglihatan’, dan itu menyiksa ku. Rasanya aku tidak seperti sedang menghirup oksigen, rasanya aku sedang tenggelam dan terkadang aku sesak nafas, bagaimana dengan tidur? Aku sungguh berharap dengan tidur dapat rileks sebentar, barangkali ini hanya mimpi buruk. Sayangnya tidak, aku sering terjaga dan susah terlelap. Jika berbaring telingaku serasa ditekan-tekan dan nafasku mulai memburu sesak. Semua itu kualami karena telinga kiriku tidak berfungsi secara maksimal.

Bagaimana dengan makan? Wah karena kejadian ini aku tidak diperbolehkan untuk kawat gigi. Rahang sebelah kiri ikut sakit ketika telinga meradang, seluruh gusi nyeri. Parahnya saat aku membuka mulut untuk memasukkan makanan juga terasa sakit, bahkan ketika aku tertawa. Untuk beberapa saat aku hanya bisa memakan yang lembut-lembut saja.

Segala aktivitas tidak menyenangkan bagiku, bahkan saat menonton drama cina yang bagus aku tidak sepenuhnya enjoy, bagaimana bisa? Jika suara yang kau tangkap hanya minim, rasanya seperti ada tembok menghalangi saja. Mana penyebab infeksi ini juga belum jelas diketahui, membuat segalanya semakin sulit saja. Aku jadi lebih sering melamun saat menjalani kegiatan, ya, sudah seperti pengganti hobi-hobiku yang lain.

Saat berangkat ke JB aku membawa novel ‘Five Little Pigs’ oleh Agatha Christie, di dalam kapal sangat berisik dan untungnya aku tidak merasa ‘kosong’ saat berada di sana. Sebab pendengaranku menjadi padat dan aku bisa berkonsentrasi membaca. Untuk pertama kalinya aku bisa relax sejak infeksi ini terjadi. Ketika aku berjalan dan terpisah dari mama dan nenek, aku harus sering-sering menoleh ke belakang jika aku berjalan di depan, barangkali mereka sedang memanggilku, karena itu aku lebih suka berjalan di belakang.

Hari pengecekan tiba, aku masih asyik membaca buku menunggu dokter datang. Nenekku juga ikut memeriksa, tenggorokannya kering. Nenek mendapat urutan pertama, katanya dia harus mengecek bagian dalam hidung menggunakan selang. Setau aku, nenek orangnya tahan sakit, dan dia bilang sakit sekali, terkadang bisa bengkak. Mendengar hal tersebut, mama memberi bumbu-bumbu takut kepada ku, berkata bahwa akupun nanti begitu. Selang? Hidung? Pagi itu aku berdoa sepanjang penantian.

Sesudah nenek keluar, pasien berikutnya adalah aku. Mama menemaniku masuk, kesan pertama untuk dokter tersebut adalah aneh. Dia memakai sebuah alat di kepalanya, sepertinya berfungsi sebagai senter, juga sebuah masker dan yang paling aneh adalah plastik yang ia kalungkan sekitar pinggang bak celemek. Dibalik itu adalah kemeja kotak-kotak biru berlengan panjang dan celana panjang hitam. Kaus kaki putih tua beserta sepatu hitam yang sudah tidak mengkilat. Dan ya, aku memang terbiasa memperhatikan detail-detail kecil.

Aku duduk di kursi sebelah pintu dan mama di dekat meja. Sebelum memeriksa, dokter sempat menanyakan apakah tenggorokan dan hidungku sakit atau terasa tidak enak dan dengan mantap aku menjawab tidak. Tentunya dokter tetap mengecek hidung dan tenggorokan, dia menggunakan semacam alat untuk mencongkel hidungku, gosh, cukup sakit, dan alat-alat lainnya untuk menekan-nekan lidah ku. Semua alat tersebut kemudian dibuang ke tong sampah. Dia menyuruhku untuk duduk di kursi lain, kali ini menyedot cairan dan pengecekan bagian mana yang sakit dari telingaku. Dokter menyuruh kami menunggu sebentar setelah beberapa pasien berikut, akan ada pengecekan lainnya.

Kali ini saat menunggu aku tidak lagi membaca buku, sibuk memikirkan jangan-jangan aku akan dimasukkan selang-selang kedalam hidung atau tenggorokan. Tidak lama setelah itu aku dipanggil keruangan satunya lagi, seorang perawat menyuruhku duduk dan dia memasukkan sebuah alat yang menimbulkan dengungan suara kedalam telingaku. Setelah itu alat yang tersambung ke sebuah mesin mencetak suatu laporan, entahlah apa itu aku tidak sempat bertanya karena aku disuruh masuk ke sebuah kotak besar mirip kulkas, aku menanyakan apakah boleh membawa handphone masuk dan ia memperbolehkan. Di dalam ‘kulkas’, terdapat kursi sofa abu-abu menempel ke sisi dinding, di sisi kanan sebuah alat mirip headphone berwana marun di kaitkan dekat dengan sofa dan sebuah jendela kaca tembus pandang sehingga aku bisa melihat rak-rak tinggi. Perawat itu berkata begini sebelum memasang alat itu ke telingaku,

“Kalau dengar suara, cakap oke” katanya berbahasa melayu kental sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum dan mengangguk. Jadilah dia menutup ‘kulkas’ itu dan aku di dalamnya. Tak seberapa lama aku dapat melihat perawat itu lewat jendela, sibuk menyusun kertas-kertas. Ia kemudian melihat kearah ku dan mulai menekan-nekan tombol. Aku merasakan sisi telinga kiri ku berdengung, maka aku mengangguk. Suara-suara itu berbeda, terkadang besar terkadang kecil, aku hanya tidak dapat menangkap satu suara di sisi kiri. Mengapa aku tau jika aku tidak bisa mendengar? Toh perawat tersebut selalu melihat kearahku jika ia menekan tombol lain dan mencatat di kertas mengenai anggukanku. Untuk telinga sisi kanan aku yakin semua dapat kudengar. Proses ini memakan waktu sekitar 10 menit, setelah itu aku keluar dari ruangan dan mendapat tatapan dari semua orang, aku duduk di samping mama yang kemudian menanyakan apa yang terjadi di dalam.

Selang 2-3 pasien aku kembali ke ruangan dokter. Dokter berkata aku infeksi, penyebabnya adalah kemasukan air saat keramas, kini di dalam telinga aku semuanya meradang, berwarna merah. Ia kemudian membasahi semacam kapas yang panjangnya sekitar 4cm dan mama langsung berkata itu untuk dimasukkan ke hidung, nantinya baru dimasukkan selang. Mulutku langsung komat kamit doa, oh tidak. Begitu dokter mendekat ia menyuruhku menghadap samping dan kapas itu ia masukkan ke telinga, perawat disamping kemudian mengisolasikannya. Baru boleh dicabut tiga hari kemudian. Rasanya aneh meski aku sempat menghela nafas lega, tidak ada selang di hidung. Tapi yang membuat tidak nyaman adalah, dari tembok besar sekarang seperti berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar lagi di dalam, aku seperti tuli sebelah.

Jadi bagaimana keadaanku sekarang? Separuh ‘penglihatan’ dan reaksi spontan aku berkurang lebih dari setengah, biasanya aku sangat peka dengan suara-suara tertentu (tidak berlaku saat berbicara dengan orang haha), biasanya jika sedang berkomunikasi aku mengatakan dua kali ‘ha?’ maka sekarang aku bisa sampai empat-lima kali ‘ha?’, tentunya itu dimaklumi oleh lawan bicara. Kalau dulu aku dimarahi tuli, sekarang orang-orang bilang, “oh iya lupa, telinganya lagi sakit”. Seketika orang-orang jadi lebih sopan menghadapiku, mirisnya sisi baiknya disitu.

            Keseharianku biasanya tidak jauh-jauh dari mendengar musik, tapi semenjak infeksi ini aku tidak dapat menikmati sebagaimana seharusnya. Telinga kananku bukan penikmat musik, meski aku tetap mendengarkan dengan volume kuat tanpa headset. Hal kecil seperti bernafas pun menjadi sedikit sulit, sebab pendengaranku membuat aku berimajinasi bahwa aku sedang tenggelam atau berada di ruang sempit yang pengap. Hal yang benar-benar kunikmati dengan keadaan seperti ini adalah menonton film dengan plot bagus, keseruan yang dapat membuat semua ini hilang sementara.

            Sepuluh hari mulai dari hari senin lalu aku harus kembali ke JB untuk pengecekan ulang, saat ini telingaku masih disumbat kapas dan berdasarkan instingku masih mengeluarkan cairan. Kuharap semuanya dapat berakhir dan aku janji akan menjaga telingaku, sungguh.

            Btw, aku juga menyelesaikan ‘Five Little Pigs’ dan menurutku BUKU INI HARUS DIBACA! Aku sangat sangat sangat merekomendasikannya, cerdas sekali, aku sempat menepuk tangan, sekali lagi Agatha Christie membangun pemikiran pembaca dari ‘sudah kuduga’ menjadi ‘!?’ di buku ini.

            Akhir kata aku harap kalian menjaga telinga kalian supaya tidak seperti aku, bersihkan seminggu sekali dan kalau bisa cek tiga bulan sekali ke THT. Jika kalian membaca buku ‘Five Little Pigs’, kuharap kalian dapat menceritakan pendapat kalian.


Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~

(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)

Saturday, September 1, 2018

Restless Being

September 01, 2018 2 Comments


24 Agustus 2018
Pagi ini aku pertama kali mengalami hal yang seperti di tv, ataupun novel,  atau mungkin kalian sering mengalaminya. Aku mengabaikan alarmku berbunyi hingga 8 menit full dan malah ketiduran dan nada deringnya terbawa mimpi 8 menit! Yah mimpi tidak berfaedah, main game. Tapi bukan itu yang ingin kubicarakan, ini bukan seri petualangan absur, hal yang sesungguhnya baru akan kubahas setelah ini. Sebuah bagian kecil dari kehidupanku.

Setelah mematikan alarm, aku pertama-tama berdoa dan beranjak meneguk segelas air kemudian membaca alkitab. Setengah tujuh lewat lima menit aku menggosok gigi dan mengambil gunting di laci, poniku sudah panjang, aku malas ke salon jadi aku potong sendiri saja. Setelah itu aku membereskan tempat tidur dan menyapu ruangan. Mama sudah pulang dari jogging pagi, ia memanggil papa bangun kemudian mandi terlebih dahulu. Aku menunggu antrian mandi sambil melihat kearah ranjang, hendak merebah tapi tidak jadi. Singkatnya setelah mandi kami bertiga menuju toko dan di tengah perjalanan papa membeli kopi terlebih dahulu dan makanan untuk sarapan. Kami sarapan sup mie dengan daging ikan. Setelah itu aku membuka laptop hendak mengerjakan tugas kuliah, saat itu mama yang duduk di hadapanku tiba-tiba menceritakan kakekku yang senang dengan TV pemberianku semalam. Aku tersenyum dan melanjutkan mengetik, tugasku banyak sekali.

Tiba-tiba aku teringat dengan mendiang kakek dan nenek, orangtua dari papa ku. Aku ingat mereka yang selalu sabar menghadapi aku yang masih kecil, keras kepala, semaunya dan mereka selalu tersenyum. Apapun yang kami inginkan selalu dipenuhi. Aku ingat dengan rumah mereka yang dulu sebelum mereka pindah ke rumah baru. Rumah itu satu lantai, halaman depannya luas bisa memarkir mobil dan kita juga bisa bermain bulu tangkis. Di depan rumah kakek menggantung sebuah sangkar, ia sempat memelihara burung beo, kesayangannya. Aku masih ingat beo itu memanggil nama koko ku, “Awei”.

Di depan rumah juga ada pot-pot bunga, aku sering memetik bunga itu saat mekar, warnanya merah terang. Aku dilarang untuk memetik, tapi tetap saja yang namanya anak-anak, dilarang malah membantah. Dan sekarang aku menyesal.

Jika saja tidak aku petik ia akan berbuah menjadi buah delima. Saat ini dirumahku, tanaman delima papa berbuah untuk pertama kalinya. Aku amat antusias melihatnya, bahkan ingin aku pagari supaya anak-anak tetangga tidak lagi jahil memetik bunganya sebelum mekar, supaya kelak dewasa tidak menyesal seperti aku. Ya, kemarin sempat ada bunga yang mekar dan malamnya saat kami pulang, bunga itu sudah terbaring di tanah. Aku marah. Apakah ini perasaan nenek dulu saat melihat bunga tanamannya aku petik dan buang begitu saja? Seingatku nenek tetap tersenyum, tidak marah cuma menegur, lain kali jangan petik, tidak apa-apa kok, nanti dia juga berbunga lagi. Dan bertahun-tahun lewat, aku tidak pernah melihat tanaman itu berbunga lagi. Akhir-akhir ini aku baru tau kalau susah sekali tanaman itu berbunga.

Kenapa aku memetik sesuatu yang indah? Bukankah dengan demikian sama saja aku membunuhnya? Membunuh sesuatu yang nantinya bermanfaat, membunuh sesuatu yang seseorang sayangi, ah, asal kalian tau, buah delima itu enak dan disenangi rata-rata semua orang. Tapi sekali lagi bukan itu intinya, intinya adalah.

Untuk apa aku memetik bunga itu? Untuk dibuang ke tanah dan layu. Miris sekarang aku sudah dewasa, menyesal juga tidak guna, bunga itu tidak akan tersambung dan hidup lagi.

Rumah nenek bukan hanya luas dari depan, di dalamnya pun demikian. Tatanan ruangannya sedikit unik. Pintu nenek ada 3, pintu utama, pintu tamu dan pintu belakang. Pintu utama adalah pintu yang biasa di lalu lalang oleh sanak keluarga, pintu itu langsung menuju dapur. Dapur nenek sedang saja, disana ada kompor gas dan alat-alat masak serta bahan-bahan. Juga ada kulkas, meja makan empat kursi. Ada juga sebuah gudang kecil, disana ada sebuah jendela, tiap sore ruangan pasti menjadi kuning ke jinggaan, cahaya matahari bisa masuk lewat sana. Gudang itu juga tempat pompa air dan sebuah lemari khusus untuk menaruh piring-piring.

Setelah ruang dapur, kalian bisa masuk ke ruang tengah. Biasanya ini hanya tempat untuk berlalu lalang, ada sebuah WC di pojok kiri, pintu menuju ruang tamu berada di ujung kanan. Ruangan ini besar, ada pintu belakang juga, biasanya tetangga sekitar mengobrol disana saat mencuci baju. Ruang tengah ini di kelilingi lemari-lemari pink pucat. Aku tidak tau apa isi lemari itu, tidak terlalu tertarik (tapi sekarang aku penasaran!). Ada juga sebuah mesin jahit dan meja besar, kursi-kursi plastic yang disusun tinggi. Saat malam lebaran, kami selalu makan besar di ruang ini. Menarik meja besar itu ke tengah ruang dan menyusun kursi-kursi plastik.

Jika kalian masuk lewat pintu tamu, kalian akan dihadapi sebuah televisi besar di atas lemari pink pucat. Pajangan-pajangan antik seperti patung domba dan manusia. Gelas-gelas cina mini yang dipakai untuk minum teh juga dipajang. Di atasnya ada bingkai foto, pixel. Sebuah pemandangan rumah dan ada bunga-bunga disampingnya. Entah sejak kapan aku kangen dengan suasana rumah itu, aku kangen suara nenek yang menyuruh aku untuk makan, aku kangen kakek yang duduk di kursi malasnya, aku kangen suasana ketika kami karaoke bersama di ruang tamu itu. Di ruang tamu itu, ada kursi tamu kayu dan meja kayu. Saat imlek atau natal akan ada kue-kue terhidang. Disitu juga ada 2 kamar, 1 kamar nenek dan kakek, satu lagi dulunya kamar papa dan kakak perempuannya, tanteku.

Aku sudah lupa kamar nenek seperti apa, samar-samar aku mengingat ada meja rias, biasanya berantakan sekali. Ada tempat tidur dan juga WC. Di kamar satunya lagi, luasnya dua kali lipat. Ada dua buah tempat tidur queen size, keduanya terpisah oleh sekat yang terbuat dari kain yang fungsinya persis seperti gorden. Aku ingat di suatu malam aku tidak bisa tidur, nenek menepuk punggungku dan menyanyikan lagu nina bobok.

Nenek pintar membuat kue tradisional, salah satu kue favoritku juga sering dibuatnya, aku tidak tau nama Indonesianya, tapi bahasa kami “Peng-Kue-Mah”. Warnanya hijau dengan isi santan (aku tidak tau pasti sih) kemudian luarnya di beri sejenis tepung. Enak sekali, sampai sekarang aku masih suka kue itu.

Dulu kakek sering membonceng aku dan kokoku dengan motornya, entahlah kemana. Kakekku sangat sabar dan penyayang. Meski kadang marah-marah kalau nenekku cerewet.
Aku kangen mereka.

Setelah papa dan mama bercerai aku jarang sekali menemui mereka. Aku dan koko ikut mama. Aku bertemu dengan kakek nenek mungkin hampir setahun sekali, saat lebaran imlek.

Nenek terkena stroke, dan sering berrbaring di ranjang. Saat kecil dulu aku jarang berbicara, pikirannya hanya ingin main dan aku tidak terlalu suka berbicara dengan nenek, rasanya membosankan sekali. Saat imlek terakhir, aku bertemu dengan nenek, nenek tidak mengenaliku, “Kamu siapa?” Katanya.

Saat aku sebut namaku, barulah ia tersenyum, wajahnya berseri-seri mengatakan bahwa aku sudah semakin dewasa. Itu pertama kalinya aku memotong rambut pendek di atas bahu.
Tahun 2014 nenekku meninggal.

Saat prosesi kematian aku menangis, aku tidak terlalu sedih. Iya, aku pantas dimaki. Alasannya, karena aku tidak pernah merasa benar-benar dekat dengan mereka. Dan lagi komunikasi kami merenggang segera setelah orangtuaku bercerai. Setelah 100 hari kematian nenek, tidak lama kemudian kakek menyusul.

Dulu koko lebih sering mengunjungi mereka, mama sering menyuruh aku ikut tapi aku tidak mau, aku lebih suka dirumah saja.

Jadi saat ini aku sedang menulis sepotong cerita hidupku. Lalu aku terpikir lagi dengan kata mama, bahwa kakekku, papa dari mama ku senang dengan TV yang aku beri. Aku tersenyum. Kakekku itu dulu sering mengantar aku ke sekolah, saat les maupun tempat rental komik. Aku sadar kian hari umur kakek dan nenekku bertambah, begitu juga dengan orangtua ku. Lusa kemarin aku ke rumah mereka. Kurus. Mengingat nenek sering memasak dan seseorang yang sangat mencintai kebersihan aku tersenyum lagi. Usia memang bertambah tapi sifat akan selalu melekat. Jadi aku berpikir, berapa lama lagi waktu untuk aku menyenangkan mereka?

Untuk kakek nenek yang sudah tiada, dulu aku tidak terlalu sedih saat kalian baru pergi, maafkan aku yang tidak pengertian dulu, maafkan aku yang telah memetik bunga delima, maafkan aku yang sudah pernah memarahi kalian karena tidak ingin tidur cepat, sungguh maaf. Hari-hari ini, saat mengingat kalian, tenggorokanku tercekat dan aku harus buru-buru menatap langit-langit sebelum air mataku tumpah. Aku sedih sekali.

Bagiku, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga melebihi apapun. Dia tidak menunggu siapapun, terus berjalan dan tiba-tiba. Kalian kehilangan. Di sisi lain aku ingat perkataan koko ku, bahwa ia membenci waktu. Ia suka dengan saat sekarang, tapi ia membenci fakta bahwa umur juga bertambah, ia tidak suka dengan orangtua, ia tidak suka karena suatu hari nanti ia akan kehilangan. Ia membenci waktu.

Manfaatkanlah waktu kalian semaksimal mungkin, nah sekarang aku akan melanjutkan tugasku dulu. Siapa tau aku jadi wisuda tahun depan (semoga).



Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~

(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)