24 Agustus 2018
Pagi ini aku pertama kali mengalami hal yang seperti
di tv, ataupun novel, atau mungkin
kalian sering mengalaminya. Aku mengabaikan alarmku berbunyi hingga 8 menit
full dan malah ketiduran dan nada deringnya terbawa mimpi 8 menit! Yah mimpi
tidak berfaedah, main game. Tapi bukan itu yang ingin kubicarakan, ini bukan
seri petualangan absur, hal yang sesungguhnya baru akan kubahas setelah ini.
Sebuah bagian kecil dari kehidupanku.
Setelah mematikan alarm, aku pertama-tama berdoa dan
beranjak meneguk segelas air kemudian membaca alkitab. Setengah tujuh lewat
lima menit aku menggosok gigi dan mengambil gunting di laci, poniku sudah
panjang, aku malas ke salon jadi aku potong sendiri saja. Setelah itu aku
membereskan tempat tidur dan menyapu ruangan. Mama sudah pulang dari jogging
pagi, ia memanggil papa bangun kemudian mandi terlebih dahulu. Aku menunggu
antrian mandi sambil melihat kearah ranjang, hendak merebah tapi tidak jadi.
Singkatnya setelah mandi kami bertiga menuju toko dan di tengah perjalanan papa
membeli kopi terlebih dahulu dan makanan untuk sarapan. Kami sarapan sup mie
dengan daging ikan. Setelah itu aku membuka laptop hendak mengerjakan tugas
kuliah, saat itu mama yang duduk di hadapanku tiba-tiba menceritakan kakekku yang
senang dengan TV pemberianku semalam. Aku tersenyum dan melanjutkan mengetik,
tugasku banyak sekali.
Tiba-tiba aku teringat dengan mendiang kakek dan
nenek, orangtua dari papa ku. Aku ingat mereka yang selalu sabar menghadapi aku
yang masih kecil, keras kepala, semaunya dan mereka selalu tersenyum. Apapun
yang kami inginkan selalu dipenuhi. Aku ingat dengan rumah mereka yang dulu
sebelum mereka pindah ke rumah baru. Rumah itu satu lantai, halaman depannya
luas bisa memarkir mobil dan kita juga bisa bermain bulu tangkis. Di depan
rumah kakek menggantung sebuah sangkar, ia sempat memelihara burung beo,
kesayangannya. Aku masih ingat beo itu memanggil nama koko ku, “Awei”.
Di depan rumah juga ada pot-pot bunga, aku sering
memetik bunga itu saat mekar, warnanya merah terang. Aku dilarang untuk
memetik, tapi tetap saja yang namanya anak-anak, dilarang malah membantah. Dan
sekarang aku menyesal.
Jika saja tidak aku petik ia akan berbuah menjadi buah
delima. Saat ini dirumahku, tanaman delima papa berbuah untuk pertama kalinya.
Aku amat antusias melihatnya, bahkan ingin aku pagari supaya anak-anak tetangga
tidak lagi jahil memetik bunganya sebelum mekar, supaya kelak dewasa tidak
menyesal seperti aku. Ya, kemarin sempat ada bunga yang mekar dan malamnya saat
kami pulang, bunga itu sudah terbaring di tanah. Aku marah. Apakah ini perasaan
nenek dulu saat melihat bunga tanamannya aku petik dan buang begitu saja?
Seingatku nenek tetap tersenyum, tidak marah cuma menegur, lain kali jangan
petik, tidak apa-apa kok, nanti dia juga berbunga lagi. Dan bertahun-tahun
lewat, aku tidak pernah melihat tanaman itu berbunga lagi. Akhir-akhir ini aku
baru tau kalau susah sekali tanaman itu berbunga.
Kenapa aku memetik sesuatu yang indah? Bukankah dengan
demikian sama saja aku membunuhnya? Membunuh sesuatu yang nantinya bermanfaat,
membunuh sesuatu yang seseorang sayangi, ah, asal kalian tau, buah delima itu
enak dan disenangi rata-rata semua orang. Tapi sekali lagi bukan itu intinya,
intinya adalah.
Untuk apa aku memetik bunga itu? Untuk dibuang ke
tanah dan layu. Miris sekarang aku sudah dewasa, menyesal juga tidak guna,
bunga itu tidak akan tersambung dan hidup lagi.
Rumah nenek bukan hanya luas dari depan, di dalamnya
pun demikian. Tatanan ruangannya sedikit unik. Pintu nenek ada 3, pintu utama,
pintu tamu dan pintu belakang. Pintu utama adalah pintu yang biasa di lalu
lalang oleh sanak keluarga, pintu itu langsung menuju dapur. Dapur nenek sedang
saja, disana ada kompor gas dan alat-alat masak serta bahan-bahan. Juga ada
kulkas, meja makan empat kursi. Ada juga sebuah gudang kecil, disana ada sebuah
jendela, tiap sore ruangan pasti menjadi kuning ke jinggaan, cahaya matahari
bisa masuk lewat sana. Gudang itu juga tempat pompa air dan sebuah lemari
khusus untuk menaruh piring-piring.
Setelah ruang dapur, kalian bisa masuk ke ruang
tengah. Biasanya ini hanya tempat untuk berlalu lalang, ada sebuah WC di pojok
kiri, pintu menuju ruang tamu berada di ujung kanan. Ruangan ini besar, ada
pintu belakang juga, biasanya tetangga sekitar mengobrol disana saat mencuci
baju. Ruang tengah ini di kelilingi lemari-lemari pink pucat. Aku tidak tau apa
isi lemari itu, tidak terlalu tertarik (tapi sekarang aku penasaran!). Ada juga
sebuah mesin jahit dan meja besar, kursi-kursi plastic yang disusun tinggi.
Saat malam lebaran, kami selalu makan besar di ruang ini. Menarik meja besar
itu ke tengah ruang dan menyusun kursi-kursi plastik.
Jika kalian masuk lewat pintu tamu, kalian akan
dihadapi sebuah televisi besar di atas lemari pink pucat. Pajangan-pajangan
antik seperti patung domba dan manusia. Gelas-gelas cina mini yang dipakai
untuk minum teh juga dipajang. Di atasnya ada bingkai foto, pixel. Sebuah
pemandangan rumah dan ada bunga-bunga disampingnya. Entah sejak kapan aku
kangen dengan suasana rumah itu, aku kangen suara nenek yang menyuruh aku untuk
makan, aku kangen kakek yang duduk di kursi malasnya, aku kangen suasana ketika
kami karaoke bersama di ruang tamu itu. Di ruang tamu itu, ada kursi tamu kayu
dan meja kayu. Saat imlek atau natal akan ada kue-kue terhidang. Disitu juga
ada 2 kamar, 1 kamar nenek dan kakek, satu lagi dulunya kamar papa dan kakak
perempuannya, tanteku.
Aku sudah lupa kamar nenek seperti apa, samar-samar
aku mengingat ada meja rias, biasanya berantakan sekali. Ada tempat tidur dan
juga WC. Di kamar satunya lagi, luasnya dua kali lipat. Ada dua buah tempat
tidur queen size, keduanya terpisah oleh sekat yang terbuat dari kain yang
fungsinya persis seperti gorden. Aku ingat di suatu malam aku tidak bisa tidur,
nenek menepuk punggungku dan menyanyikan lagu nina bobok.
Nenek pintar membuat kue tradisional, salah satu kue
favoritku juga sering dibuatnya, aku tidak tau nama Indonesianya, tapi bahasa
kami “Peng-Kue-Mah”. Warnanya hijau dengan isi santan (aku tidak tau pasti sih)
kemudian luarnya di beri sejenis tepung. Enak sekali, sampai sekarang aku masih
suka kue itu.
Dulu kakek sering membonceng aku dan kokoku dengan
motornya, entahlah kemana. Kakekku sangat sabar dan penyayang. Meski kadang
marah-marah kalau nenekku cerewet.
Aku kangen mereka.
Setelah papa dan mama bercerai aku jarang sekali
menemui mereka. Aku dan koko ikut mama. Aku bertemu dengan kakek nenek mungkin
hampir setahun sekali, saat lebaran imlek.
Nenek terkena stroke, dan sering berrbaring di
ranjang. Saat kecil dulu aku jarang berbicara, pikirannya hanya ingin main dan
aku tidak terlalu suka berbicara dengan nenek, rasanya membosankan sekali. Saat
imlek terakhir, aku bertemu dengan nenek, nenek tidak mengenaliku, “Kamu
siapa?” Katanya.
Saat aku sebut namaku, barulah ia tersenyum, wajahnya
berseri-seri mengatakan bahwa aku sudah semakin dewasa. Itu pertama kalinya aku
memotong rambut pendek di atas bahu.
Tahun 2014 nenekku meninggal.
Saat prosesi kematian aku menangis, aku tidak terlalu
sedih. Iya, aku pantas dimaki. Alasannya, karena aku tidak pernah merasa
benar-benar dekat dengan mereka. Dan lagi komunikasi kami merenggang segera
setelah orangtuaku bercerai. Setelah 100 hari kematian nenek, tidak lama
kemudian kakek menyusul.
Dulu koko lebih sering mengunjungi mereka, mama sering
menyuruh aku ikut tapi aku tidak mau, aku lebih suka dirumah saja.
Jadi saat ini aku sedang menulis sepotong cerita
hidupku. Lalu aku terpikir lagi dengan kata mama, bahwa kakekku, papa dari mama
ku senang dengan TV yang aku beri. Aku tersenyum. Kakekku itu dulu sering
mengantar aku ke sekolah, saat les maupun tempat rental komik. Aku sadar kian
hari umur kakek dan nenekku bertambah, begitu juga dengan orangtua ku. Lusa
kemarin aku ke rumah mereka. Kurus. Mengingat nenek sering memasak dan seseorang
yang sangat mencintai kebersihan aku tersenyum lagi. Usia memang bertambah tapi
sifat akan selalu melekat. Jadi aku berpikir, berapa lama lagi waktu untuk aku
menyenangkan mereka?
Untuk kakek nenek yang sudah tiada, dulu aku tidak
terlalu sedih saat kalian baru pergi, maafkan aku yang tidak pengertian dulu,
maafkan aku yang telah memetik bunga delima, maafkan aku yang sudah pernah
memarahi kalian karena tidak ingin tidur cepat, sungguh maaf. Hari-hari ini,
saat mengingat kalian, tenggorokanku tercekat dan aku harus buru-buru menatap
langit-langit sebelum air mataku tumpah. Aku sedih sekali.
Bagiku, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga
melebihi apapun. Dia tidak menunggu siapapun, terus berjalan dan tiba-tiba.
Kalian kehilangan. Di sisi lain aku ingat perkataan koko ku, bahwa ia membenci
waktu. Ia suka dengan saat sekarang, tapi ia membenci fakta bahwa umur juga
bertambah, ia tidak suka dengan orangtua, ia tidak suka karena suatu hari nanti
ia akan kehilangan. Ia membenci waktu.
Manfaatkanlah waktu kalian semaksimal mungkin, nah
sekarang aku akan melanjutkan tugasku dulu. Siapa tau aku jadi wisuda tahun
depan (semoga).
Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini, jangan lupa react, comment dan share! Komentar kalian selalu berarti buatku! See you guys on the next post, CIAO~
(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)
dem ninjas cutting onion
ReplyDeleteManteep nih si cantik fergii ☺️☺️
ReplyDelete