Menurutku makan
malam memiliki peran penting di keluarga ku. Di saat itulah kami sekeluarga
dapat duduk dengan nyaman, menikmati lauk pauk sambil berbincang. Favorit ku
selain menyuapkan makanan ke dalam mulut ialah sesi percakapan ini. Perbincangan
kami sangat random, pekerjaan, gosip,
sekolah, film, dsb.
Hari ini hari
selasa, 2 Juli 2019 (ketika aku sedang menulis kalimat-kalimat ini). Beberapa
hari ini pencernaanku tidak sehat, selalu kembung dan mual. Padahal jadwal
makan teratur, mana sudah hampir beberapa kali ingin muntah, yah aku berasumsi
asam lambung. Setelah minum obat dan menggosokkan minyak telon aku yakin akan
berujung sembuh tak lama lagi (semoga). Aku sudah berobat ke dokter, tidak ada
masalah besar.
Oh ya, lauk makan
malam hari ini adalah tahu kukus tauco, ayam kecap dan sayur santan, aku tidak
pandai masak dan kemungkinan besar nama-nama yang kusebut salah, jadi mohon
koreksi. Malam ini porsi nasi ku lebih sedikit dari biasanya, kata mama kalau
perut masih tidak enak lebih baik jangan makan terlalu kenyang. Berhubung hal
tersebut, lauk yang cocok denganku hanya ayam dan tahu.
Aku sangat suka
dengan tahu kukus tauco. Lebih tepatnya karena ada tauco. Jadi mala mini aku
memberitahu kedua orangtua ku alasan aku menyukai tauco.
“Aku suka makan
tahu ini karena ada tauco.”
“Loh? Kamu bisa
makan tauco? Perut gak sehat makan keasinan boleh gak ya?” Tanya mama kemudian
disambut sindiran oleh papa.
“Zaman dulu orang
bisa makan 1 mangkuk bubur dengan lauk 2 butir tauco,” kata papa yang aku balas
dengan anggukan semangat.
“Yep, aku pernah
dengar hal tersebut dari guru mandarin ku dulu, guru yang tinggal di dekat
rumah nenek, dia pernah bilang hal tersebut karena pas hari itu kami belajar
tauco dalam bahasa mandarin. Aku dan koko waktu itu masih kecil, tidak tau apa
itu tauco. Seusai les kami berdua pulang dan tak lama setelah itu, lao shi
(sebutan guru dalam bahasa mandarin) ke rumah kami mengantarkan setoples tauco,
katanya untuk nenek masak. Lao shi baik sekali, sengaja menunjukkan ke kami
bahkan memberi kami tauco. Ah, aku rasa aku suka makan tauco gara-gara lao
shi.”
“Guru yang manakah
itu?” tanya papa.
“Ah, itu adik dari
toko baju anak-anak di sekitar jl. Merdeka, lao shi baik sekali. Terakhir kali
ketika Wei (nama koko ku) dan Hui (aku) sudah tidak les karena sibuk sekolah,
lao shi sering menelepon suruh les tanpa harus bayar. Sekarang dia sudah
tiada,” jawab mama.
“…”
“Lao shi pintar
sekali loh! Dia bisa menggunakan kedua tangannya menulis. Mana bisa tulis
terbalik dan garis-garis tata tulisan mandarinnya tepat semua! Katanya dulu lao
shi itu kidal, karena di sekolah ditertawakan murid lain, lao shi belajar
tangan kanan. Yang menakjubkan itu yang tadi aku bilang, dia nulis terbalik,
misalkan aku duduk di seberangnya dan dia akan menulis ke arah aku, yang
penting lagi tulisannya bagus sekali!”
“Yah, kamu pernah
liat orang yang nulis di botol? Pakai kuas, itu lebih sulit,” kata papa.
“Yeah itu hebat,
tapi aku kan tidak kenal orangnya, kalau ini kan beda, dia lao shi ku, jadi aku
bisa memperkenalkannya, rasanya lebih ‘wah’ begitu, toh sama-sama hebat.”
Seusai itu kami
membicarakan hal-hal lain lagi, seperti harga permen yang baru kubeli, merk
sama beda rasa, aku membeli permen rasa lemon dan satu lagi blackcurrant.
Anehnya rasa lemon lebih murah. Aku menghabiskan makan malam kemudian beranjak
dari kursi ke kamar dan tenggelam dalam pikiran sendiri.
Lao shi adalah
orang yang baik, dan aku sayang padanya. Saat aku masih les dulu, aku
mengetahui bahwa dia memiliki seorang putra di Jakarta, dan suaminya sudah lama
meninggal. Lao shi memelihara seekor kura-kura cacat, kaki nya hanya ada 3, dan
kura-kura itu besar sekali, ia meletakkannya di baskom besar hitam di belakang
rumah, biasanya diberi makan nasi putih. Lao shi cerita kura-kura itu tiba-tiba
muncul dari paret depan rumahnya, karena kasihan maka dipungutnyalah dan
dipelihara.
Kadang-kadang kalau aku lewat rumah
lao shi aku jadi bernostalgia, percakapan paling sering adalah mengenai
jalanan. Rumah lao shi rawan banjir karena sangat rendah, katanya ini semua
gara-gara pemerintah mengaspal tanpa mengeruk aspal yang lama. Lama-kelamaan
aspal-aspal menjadi lebih tinggi dari rumah, dan inilah akibatnya.
Lao shi suka
menyanyi dan nenekku sering bilang kalau-kalau suaranya sangat merdu. Lao shi
juga sering jogging sore, aku dan
koko pernah ikut jogging bersamanya
ke tepi laut. Selain hobi menyanyi, lao shi juga suka mengoleksi biji buah
saga, di dapurnya banyak sekali toples-toples berisi buah saga.
Waktu aku kecil
dulu aku tidak begitu suka belajar mandarin, tapi aku suka saat-saat les karena
lao shi sering menceritakan hal-hal menarik. Misalkan mengenai mendiang
suaminya. Suaminya lancar berbahasa Jepang, dulu suaminya pernah ditipu diajak
ke Jepang untuk merantau. Tak taunya setelah sampai di sana orangnya kabur,
alhasil suami lao shi harus tidur di teras rumah orang pada tengah malam dan
bangun subuh sebelum orang-orang rumah bangun. Suami lao shi bekerja sebagai
karyawan dari penjual stan-stan kecil, di sanalah ia mulai belajar kata-kata
sedikit demi sedikit. Saat mengumpulkan uang yang cukup, barulah ia dapat
pulang ke Indonesia. Lao shi juga bilang orang-orang Jepang sangat sopan,
mereka selalu bilang “Hai!” dan membungkuk (lao shi mempraktekkannya dan aku
tertawa sambil mengangguk-ngangguk).
Lao shi juga sering cerita saat tahun
1945, ia ke pelabuhan untuk mengibarkan bendera tanda bahwa merdeka. Kalau
mengenai pelajaran, yang paling aku ingat adalah kata 鱼 (Yú)artinya
ikan. Saat lao shi bilang Yú
dan mengartikannya, dia menggunakan “Fish”. Aku tersenyum lebar
karenanya, menurut aku orang seusia lao
shi dan bisa berbahasa inggris cukup jarang (waktu itu aku masih SMP) dan unik.
Aku sangat menghormati lao shi, aku menganggapnya
sebagai bagian dari keluarga dan seorang sahabat. Tapi waktu berjalan begitu
cepat sehingga aku harus fokus sekolah dan berhenti les. Kabar lao shi
meninggal sampai ke telinga ku saat aku SMK, aku sedih sekali dan katanya
bertempat di Jakarta sehingga aku tidak bisa melayat.
Menurut aku lucu sekali suatu barang
bisa mengingatkan kita kepada seseorang, dan kita juga bisa menyukai suatu
barang karena orang yang kita kagumi, homati, dekat (atau apa pun itu dalam
maksud yang sama) karena barang itu mengingatkan kita pada orang tersebut.
Contohnya adalah tauco, jujur saja
ini bukan pertama kali aku menceritakan kepada orangtua ku alasan aku menyukai
tauco. Aku suka mengulangi cerita itu jika mendapati tauco di laukku. Rasanya
seperti baru kemarin lao shi memanggil-manggil nama kami dari luar rumah untuk
memberi tau kami seperti apa itu tauco dan menghadiahkannya untuk nenek.
Thank you so much sudah luangin waktu untuk membaca konten ini :) jangan lupa react, comment dan share! See you guys on the next post, CIAO~
(P.S: Update setiap malam minggu, untuk info postingan bisa di cek di story ig ku @fergiana.s)
Great post fer! Thankyou
ReplyDelete