Suatu saat ketika aku berumur lima tahun
seorang perempuan hadir di keluarga kami. Aku masih ingat persis hari itu
dimana aku naik pangkat menjadi seorang 'kakak' dari perempuan yang nyaris
seumuran denganku. Meski aku lebih tua 5 bulan dari nya tubuhku terbilang
pendek dari 'adikku' ini. Selain tinggi badan kurasa kami juga tidak terlalu
mirip, aku memiliki mata kecil dan berkulit putih bersih sedangkan Raisa
memiliki mata besar dan kulit hitam manis. Di lehernya ada sebuah terkalun
sebuah liontin oval dengan ukiran salib. Jika orang-orang melihatnya dengan aku
pastilah mereka berkata aku pesek dan dia mancung.
Ketika kami baru saja duduk di bangku SD
Raisa tidak pernah terlihat berteman dengan orang lain selain aku. Bila ia
berpapasan dengan anak lain maka ia akan segera melengos ataupun berlari kearah
yang berlawanan, bila guru memasangkan anak-anak sekelas untuk memainkan drama
maka Raisa akan berpura-pura sakit perut jika kelompoknya tidak ada aku, bila
saja aku telat bangun untuk bersiap-siap sekolah, maka Raisa akan
mengetok-ngetok pintu kamarku menyuruh aku bangun karena jika aku sakit maka ia
akan ikut-ikutan. Jujur saja aku merasa senang karena aku sangat diandalkan
oleh adikku ini. Raisa dan aku paling semangat bermain gundu bersama, biasanya
setelah makan malam selesai mengerjakan PR, kami akan bermain di ruang tamu
kami sambil sesekali berteriak kegirangan. Keseharian kami benar-benar seru
sekali. Tidak hanya diisi dengan gundu, kami kadang-kadang membangun rumah dari
bantal-bantal sofa yang kemudian akan ditegur ibu. Sungguh masa itu sangatlah
menyenangkan!
Dan hari itu datang ketika sekolah kami
mengadakan jalan santai didaerah sekitarnya, bisa kalian tebak bahwa aku dan
Raisa jalan berdampingan selama jalan santai tersebut. Kami berada dideretan
paling belakang sebab pemandangan dapat kami nikmati tanpa harus adanya orang
dibelakang kami berteriak kesal (aku dan Raisa jalannya memang lambat sekali).
Ditengah perjalanan Raisa tiba-tiba bertanya suatu hal yang tidak dapat
kumengerti. Apakah ia benar-benar adikku? Sebab yang ia dengar dari acara
televisi bahwa setiap anak pastinya memiliki foto ketika baru dilahirkan,
sedangkan Raisa hanya memiliki dua pucuk foto yang mengkilap dimana hari
pertama ia hadir dirumah kami dan foto kedua diambil ketika kami berdua masuk
sekolah SD.
Aku tidak begitu mengerti apa pentingnya
foto-foto itu, maksudku aku sangat menikmati hari demi hari lewat tanpa berfikiran
‘serius’ sepertinya (setidakmya ini adalah pikiran yang dilur jangkauan
anak-anak). Raisa memang tipe serius. Jika ada PR yang baru saja diberi hari
itu maka malamnya ia akan segera memaksaku untuk mengerjakannya bersama sebelum
permainan gundu dimulai. Ah kembali ke pertanyaan konyolnya. Sudah pastinya ia
adalah adikku meski umur kami beda 5 bulan dan rupa kami tidak ada kesamaan
sedikit pun. Memangnya ada yang salah dengan itu? Aku menganggap bahwa ia
adalah sosok adikku, teman baikku dan keluargaku. Karena jawaban aku tidak
memuaskannya maka saat kami pulang kami berbondong-bondong menanyakan ibu
foto-foto ketika Raisa masih dalam wujud bayi.
Ibuku tersenyum hangat kemudian mengelus kepala
dan memeluk kami dengan erat. Ia kemudian mengeluarkan satu kotak berwarna
merah jambu yang tampaknya amat terawat. Dari situlah tumpukan foto-foto dengan
gaya berbeda namun paras yang tetap sama. Seorang bayi bermata besar dan lesung
pipi yang dalam hanya berada disisi kiri. Itu adalah kumpulan foto-foto Raisa
yang memang tidak banyak tetapi setiap foto menjelaskan secara detail seperti
'Hari pertama ia bisa memegang botol susu sendiri'. Baru pertama kali aku
melihat Raisa tersenyum begitu lebar, matanya berkilat-kilat kemudian
melambai-lambaikan foto-foto tersebut kearah wajahku. Apa yang kukatakan tadi?
Kami memang saudara!
Hari-hari berlanjut seperti biasa dan
seperti kilatan petir lewat kami memasuki umur remaja dan menduduki bangku SMA.
Masa itu adalah masa tersulit di hidupku, kami berdua resmi menjadi yatim piatu
sebab suatu malam orangtua kami terbunuh tanpa adanya jejak pelaku. Semenjak
itu aku menjadi teramat murung dan suka menyendiri. Berbeda dengan Raisa ia
selalu menyemangatiku mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja sebab kami
memiliki satu sama lain sekarang meski paman dan tante mengurus kami mereka
tidak berbuat jauh selain memberi uang jajan dan tiap hari minggu akan mengecek
keadaan kami.
“Apa yang kau lakukan!” Teriak aku di
suatu sore sebab kelakuan Raisa semakin menjadi. Dia mengenakan pakaian favorit
ibu. Warna merah terang itu mengingatkan aku akan ibu yang selalu mengenakannya,
Raisa menatapku heran dan malah berkata bahwa sayang sekali sekarang tidak akan
ada orang yang akan memakainya. Aku kesal sekali karena bagaimana bisa Raisa
bisa bersikap begitu tenang seakan-akan hanya aku sendiri yang berkabung.
Aku menyuruhnya mengganti baju lain sebab
tidak suka. Ia berjalan meninggalkanku kemudian bergumam kecil. Malamnya aku
sedang memainkan gitarku di ruang tamu, Raisa menghampiri aku dan duduk
disamping aku, sekali lagi ia melontarkan pertanyaan yang sama untuk ketiga
kali. Sekali saat kami masih kecil, kedua kali adalah malam sebelum ayah ibu
dibunuh, dan sekarang ini.
‘Apakah dia adikku?’ tanyanya. Omong
kosong sekali pertanyaan itu. Aku bertanya kenapa dia bisa bertanya seperti
itu, bukannya sudah ada bukti foto-foto saat ia masih kecil? Raisa meninggikan
suaranya kemudian bertanya pertanyaan yang sama lagi. Aku menghentikan
permainanku kemudian menatapnya serius dan menjawab dia adalah adikku. Ia
menghembus nafas kesal kemudian bergumam sesuatu. Aku pamit ingin tidur
terlebih dahulu kemudian melangkahkan kakiku lebar-lebar. Yah semoga saja
jawabanku tadi dapat sedikit menghiburnya.
Malam itu aku mendengar langkah kaki yang
teramat pelan dikamarku. Aku berpaling dan mendapati Raisa tengah mengendap-ngendap
kearahku. Aku kaget karena lagi-lagi ia mengenakan baju merah milik ibuku. Aku
berteriak kesal kali ini, sangat kesal.
“Pergi!” Teriakku kemudian mata besar itu
terlihat sendu. Ia bertanya-tanya mengapa begitu padahal ia adalah adikku.
“Kau suka sekali menghibur dirimu sendiri!
Padahal kau paling tau dan bahkan sudah sadar saat kita masih SD dulu. Orang
asing yang tak tau terima kasih”
Mata Raisa berkilat-kilat, ia menunduk dan
bergumam sesuatu yang tidak dapat kudengar jelas. Aku tersadar akan apa yang
baru saja ku ucapkan. Sebelum aku bisa meminta maaf ia melihat tajam kearahku,
dan bergumam kecil. Emosi ku sudah mereda karena kaget atas apa yang kuucapkan
tadi.
“Kalian semua sama saja”, katanya kemudian
berlalu. Aku ingin sekali berteriak meminta maaf tapi sebelum semuanya terjadi
Raisa sudah terlanjur hilang dibalik pintu kamarku. Besok aku harus meminta
maaf
Malam itu aku tidur berselimutkan syal
tipis, udara malam hari itu berhawa panas sekali. Aneh sekali meskipun musim
panas aku tidak pernah merasakan hawa seperti ini, saking panasnya bahkan dalam
tidurku pun aku merasa leher dan dahiku berkeringatan. Belum lagi adanya
wewangian-wewangian menyengat menyerbak disekitarku. Aku membuka mataku karena
tidurku sangat tidak pulas, dan merah bercampur abu-abu berserta
percikan-percikan merah seperti warna baju favorit ibu adalah yang pertama dan
terakhir kali kulihat setelah hari itu.
-o0o-
Halo-halo semuanya! Untungnya hari ini gua bisa post ya meski udah agak malem hehe. Nah sesuai janji gua di post sebelum-sebelumnya, bakal ada cerita pendek di blog gua ini. Gua lagi belajar nih gaya penulisan baru, semoga saja kalian ngerti yah sama cerita diatas (maklum masih amatir)
Kalau boleh tolong beri jawaban dari pertanyaan berikut :
1. Apa yang terjadi kepada tokoh 'Aku' pada akhir cerita?
2. Apakah ending tersebut dapat kalian duga?
3. Menurut kalian sifat tokoh Raisa dan Aku itu bagaimana?
Jangan lupa react, comment dan share ya! Thanks juga buat yang udah baca sampai disini. See you guys on the next post, CIAO!
1 dibunuh?
ReplyDelete2 ga diduga sih, tapi sedikit aneh
3 keduanya lumayan mengganggu sih
lumayan menarik sih
1. dengan kebakaran?
DeleteMhmm.... Yang nomor 3 kurang spesifik XD
Delete1. Tokoh 'Aku' terkurung di dalam rumahnya yg d bakar.
ReplyDelete2. Dpt diduga kalau tokoh 'Aku' pasti akan dibunuh tapi tdk dpt diduga kalau hny d kurung d dlm rmh yg terbakar.
3. Tokoh 'Aku' = tdk peka dan tdk peduli terhadap perubahan sikap Org lain. Tokoh Raisa = psychopath(?), tdk dpt d deskripsi dgn kata lain.
Hoo.. Ternyata tersampaikan juga maksud aku. Thanks udah mikir untuk tulisan ini hehe
Delete1. Tokoh "Aku" mati dalam kebakaran.
ReplyDelete2. Iya, kita dapat menduga dari sifat tokoh "Raisa".
3. Sifat "Aku" ; Cuek, dan Tidak peka
Sifat "Raisa" ; Bingung, dan Gangguan kejiwaan.
Hoo... Yang pingin aku gambarkan itu sebenarnya gangguan jiwa Raisa, untung tersampaikan hehe. Thanks yak udah mikir untuk cerpen ini :)
Delete